Kamis, 14 Mei 2015

Sakit

Ga pernah kebayang bakal jadi kaya gini. Semenyiksa ini, sesakit ini. Pikiran gua masih kacau, ga bisa tenang. Sumpah demi apapun, gua mau dia balik. Mustahil. Gua yg mulai semuanya. Salah gue, dan gua mau minta balik? Salah sendiri! Makan tuh dengkul kuda!! Rasain!!!

Sumpah ini nyiksa banget, sumpah gua gamau, gapernah mau kaya gini. Kenapa jantung gua gamau tenang dari waktu itu? Gua ga bisa lewatin semuanya sendiri, tanpa dia. Rasanya mau lari kerumahnya, liat wajahnya dan denger suaranya, peluk dia, tapi apa gua cuma bisa nangis, nangis, nangis. Harus bilang apa kalo gue ketauan nangis?

Bulan ke-19 jalan 20, haruskah berenti disitu? Kita bahkan belum 2 tahun. Keberadaan dia tapi udah dari bertahun-tahun lalu. Dulu oke, kita sahabatan, terus renggang, dan pacaran. Setelah putus? Dia bilang bisa jadi teman atau sahabat, entah kenapa gua ga rela. Bukan dalam artian gua mau dia jadi asing atau gimana, bukan. Gua mau dia jadi temen, tapi temen hidup gua, sama-sama sampe tua. Tapi dengan sikap gua yang kaya gini, apa pantas gua dampingin dia?

Gua ga pantes disisinya, tapi gua butuh dia. Ampun, rasanya bener-bener nyiksa, gua mau tau kabar dia. Sedih. Galau. Cengeng. Apa yang harus gua lakuin?? Gue pengen bisa muter waktu, balik ke masa-masa gua bikin kesalahan, dan memperbaikinya supaya dia ga tersiksa. Ga begini, dia pasti menderita, dia pasti menyesal kenapa dipertemukan dengan gue lalu milih gue. Jujur, gua ga pernah cinta sama orang sedalam ini. Dan ketakutan-ketakutan gua terjadi, dia sekarang pergi. Katanya mau bertahan apapun yang terjadi, tapi bener kan, dia ga kuat? Gua tau, itu sebabnya gua lakuin hal ini. Dengan tujuan biar dia bisa bebas lepas, temuin lagi senyumnya, bahagianya. Maaf, ternyata gue ga bisa nepatin janji, untuk nemenin dia sampe sukses kelak.

Please, somebody help me.... I can't through this all alone, without him, i'm nothing. I wanna be with him, stay by his side. Together until the death separate us. I'm useless now, I can do nothing. Just cry whenever i'm alone, feels the heart that broke into pieces. I want him, now and then. He's the man I want, only him, noone else. I love him, a lot, from the deepest of my heart. Please God, please. If i'm not besides him, please take a good care of him. Give him a happyness, either with or without me. Tell us, is this a good way? You show us the good way? To be like this? Is it much better if we break? God, I can't do this, I can't make it. Really, I don't wanna be like this. But, I have to. Sad, there's a fight inside of me. To let him go or to take him back. Eventhough, I know he won't come back to me. Never. He hates me as much. He hates me... God, I can't. Really, I can't.

Tanpamu

Bagaimana mungkin aku bisa tidur nyenyak. Tapi apa iya aku akan terus begini? Apa akan berlangsung tiap malam? Menangis sampai tertidur, dan beberapa menit kemudian terbangun lalu teringat dan menangis lagi sampai tertidur lagi, begitu terus, berulang sampai pagi. Tuhan, terimakasih karna memperkenalkanku pada sosok yang hebat. Dan terimakasih pula atas karma ini. Aku menyia-nyiakan kesempatan, dan kesempatan itu tak mungkin datang lagi.

Aku tak cukup baik baginya, bahkan mendekati baik pun tidak. Itu sebabnya dia harus pergi. Walaupun aku tak ingin dia pergi, sama sekali tak pernah menginginkan hal itu terjadi. Tapi dia memang pergi. Sakit sekali melihat punggungnya semakin menjauh, pada saat itu aku tahu dia takkan menoleh. Aku cuma pengganggu di hidupnya, cuma pengacau. Tak sepantasnya aku meminta lebih, menuntut banyak. Tapi, demi apapun, aku sayang dia, aku tak tahu mengapa aku berlaku kejam dan egois, padahal aku butuh dia. Sangat.

Aku mencintainya dengan cara yang salah; aku menyakitinya, lagi dan lagi, terus dan terus. Lalu kini dia bebas dari belenggu yg kubuat, kuharap dia bahagia diluar sana. Tapi aku tak menyangka melepaskannya pergi akan sesakit ini. Aku bahkan tak mampu mengistirahatkan diri, pikiranku melayang kemana-mana. Sakit sekali, sungguh. Aku tak pernah sesakit ini. Berharap ini cuma mimpi buruk, aku ingin segera terbangun, rasanya waktu begitu cepat. Apa aku bisa terbiasa tanpanya? Aku tak mau, aku tak bisa, aku tak sanggup. Aku ingin dia jadi yang terakhir, tapi dia sudah lelah akan sikapku. Mimpiku takkan terlaksana. Aku bahkan tak tahu itu emosi sesaat atau memang keinginan dia yg sesungguhnya. Tapi apapun itu, takkan membuatku kembali dalam pelukannya.

Aku begitu bodoh, menyia-nyiakan kesempatan yang kupunya ini. Bagaimana bisa aku melewati hari setelah ini? Sementara kabar darinya kini jadi kebutuhanku, siapa yang menyangka ini? Tapi aku aku memang selalu menunggu kabar darinya. Dan pelukannya, pelukan hangatnya, aku tak bisa merasakan kembali tempat yang nyaman itu. Bagaimana dengan kehadirannya? Kehadirannya dalam hidupku begitu besar porsinya. Dia sering kali membantuku melewati hari yang sulit. Disaat aku sedih atau senang, dia orang pertama yang kuberi tahu. Karna disampingnya, aku merasa kuat, aku merasa bisa melewati semuanya. Tapi kini dia pergi, aku bukan perempuan yang kuat lagi. Dengan pikiran-pikiran buruk itu yang menekanku, bagaimana jika aku mengikuti bisikan setan tersebut dan melakukan hal bodoh?

Aku tak bisa melakukannya sendirian, Tuhan, aku masih butuh dia. Karna dirinya aku mampu percaya pada diriku sendiri. Bagaimana sosok dia begitu penting bagiku. Aku ingin dia jadi yang terakhir. Tapi aku bahkan tak sanggup memantaskan diri disisinya, bagaimana mungkin aku bisa terus disampingnya? Dan disisi lain dia butuh orang disampingnya yang bisa men-support dirinya, artinya siapapun orangnya bisa, bukan? Jadi, dia tanpaku nampaknya bukan masalah. Aku bahkan tak sanggup memaafkan diri sendiri, aku marah pada diri sendiri karna telah begitu bodoh. Menjadi teman? Aku tak yakin, itu cuma semacam alasan dibalik 'tak-ingin-berhubungan-lagi' atau 'menjauhlah' bagiku. Sekalipun kita benar bisa berteman, aku tak ingin begitu, karna tentu akan ada banyak yang berbeda.

Aku sayang dia, sungguh-sungguh. Kalau tidak, mana mungkin aku relakan lakukan hal-hal itu? Aku lakukan itu cuma untuk dia, hanya dia, aku turuti mau dia seperti apa. Aku mau dia senang. Tapi dilain hari aku hanya bisa membuatnya marah. Ya, khilaf. Kata macam apa itu, aku sungguh malu pada diri sendiri. Aku benar menaruh harapan besar padanya, harapan menjadi calon masa depannya, teman hidupnya. Tapi apa yang kulakukan kini?

Ampuni aku, semua tingkah lakuku.

Aku tak kuat...

Aku tak sanggup...

Aku tak bisa...

Tanpamu.