Kamis, 14 Mei 2015

Tanpamu

Bagaimana mungkin aku bisa tidur nyenyak. Tapi apa iya aku akan terus begini? Apa akan berlangsung tiap malam? Menangis sampai tertidur, dan beberapa menit kemudian terbangun lalu teringat dan menangis lagi sampai tertidur lagi, begitu terus, berulang sampai pagi. Tuhan, terimakasih karna memperkenalkanku pada sosok yang hebat. Dan terimakasih pula atas karma ini. Aku menyia-nyiakan kesempatan, dan kesempatan itu tak mungkin datang lagi.

Aku tak cukup baik baginya, bahkan mendekati baik pun tidak. Itu sebabnya dia harus pergi. Walaupun aku tak ingin dia pergi, sama sekali tak pernah menginginkan hal itu terjadi. Tapi dia memang pergi. Sakit sekali melihat punggungnya semakin menjauh, pada saat itu aku tahu dia takkan menoleh. Aku cuma pengganggu di hidupnya, cuma pengacau. Tak sepantasnya aku meminta lebih, menuntut banyak. Tapi, demi apapun, aku sayang dia, aku tak tahu mengapa aku berlaku kejam dan egois, padahal aku butuh dia. Sangat.

Aku mencintainya dengan cara yang salah; aku menyakitinya, lagi dan lagi, terus dan terus. Lalu kini dia bebas dari belenggu yg kubuat, kuharap dia bahagia diluar sana. Tapi aku tak menyangka melepaskannya pergi akan sesakit ini. Aku bahkan tak mampu mengistirahatkan diri, pikiranku melayang kemana-mana. Sakit sekali, sungguh. Aku tak pernah sesakit ini. Berharap ini cuma mimpi buruk, aku ingin segera terbangun, rasanya waktu begitu cepat. Apa aku bisa terbiasa tanpanya? Aku tak mau, aku tak bisa, aku tak sanggup. Aku ingin dia jadi yang terakhir, tapi dia sudah lelah akan sikapku. Mimpiku takkan terlaksana. Aku bahkan tak tahu itu emosi sesaat atau memang keinginan dia yg sesungguhnya. Tapi apapun itu, takkan membuatku kembali dalam pelukannya.

Aku begitu bodoh, menyia-nyiakan kesempatan yang kupunya ini. Bagaimana bisa aku melewati hari setelah ini? Sementara kabar darinya kini jadi kebutuhanku, siapa yang menyangka ini? Tapi aku aku memang selalu menunggu kabar darinya. Dan pelukannya, pelukan hangatnya, aku tak bisa merasakan kembali tempat yang nyaman itu. Bagaimana dengan kehadirannya? Kehadirannya dalam hidupku begitu besar porsinya. Dia sering kali membantuku melewati hari yang sulit. Disaat aku sedih atau senang, dia orang pertama yang kuberi tahu. Karna disampingnya, aku merasa kuat, aku merasa bisa melewati semuanya. Tapi kini dia pergi, aku bukan perempuan yang kuat lagi. Dengan pikiran-pikiran buruk itu yang menekanku, bagaimana jika aku mengikuti bisikan setan tersebut dan melakukan hal bodoh?

Aku tak bisa melakukannya sendirian, Tuhan, aku masih butuh dia. Karna dirinya aku mampu percaya pada diriku sendiri. Bagaimana sosok dia begitu penting bagiku. Aku ingin dia jadi yang terakhir. Tapi aku bahkan tak sanggup memantaskan diri disisinya, bagaimana mungkin aku bisa terus disampingnya? Dan disisi lain dia butuh orang disampingnya yang bisa men-support dirinya, artinya siapapun orangnya bisa, bukan? Jadi, dia tanpaku nampaknya bukan masalah. Aku bahkan tak sanggup memaafkan diri sendiri, aku marah pada diri sendiri karna telah begitu bodoh. Menjadi teman? Aku tak yakin, itu cuma semacam alasan dibalik 'tak-ingin-berhubungan-lagi' atau 'menjauhlah' bagiku. Sekalipun kita benar bisa berteman, aku tak ingin begitu, karna tentu akan ada banyak yang berbeda.

Aku sayang dia, sungguh-sungguh. Kalau tidak, mana mungkin aku relakan lakukan hal-hal itu? Aku lakukan itu cuma untuk dia, hanya dia, aku turuti mau dia seperti apa. Aku mau dia senang. Tapi dilain hari aku hanya bisa membuatnya marah. Ya, khilaf. Kata macam apa itu, aku sungguh malu pada diri sendiri. Aku benar menaruh harapan besar padanya, harapan menjadi calon masa depannya, teman hidupnya. Tapi apa yang kulakukan kini?

Ampuni aku, semua tingkah lakuku.

Aku tak kuat...

Aku tak sanggup...

Aku tak bisa...

Tanpamu.

0 komentar:

Posting Komentar